Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wali Kota Batu Eddy Rumpoko memperpendek daftar bakal calon wakil gubernur (cawagub) Jatim. Sosok yang pernah di sodorkan kepada Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu jelas kehilangan kans untuk berkompetisi di pilgub.

Sementara itu, santer dikabarkan Gus Ipul bakal menggandeng Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas sebagai cawagub dalam pilkada serentak 27 Juni 2018 itu. Lawan Gus Ipul? Tetap diwacanakan Khofifah Indar Parawansa (KIP) yang memang masih berhasrat. Utak-atik politik juga dilakukan untuk mencari siapa pasangan KIP sebagai cawagub.

Imajinasi pilgub Jatim memang terasa menyempit pada ”el clasico” Gus Ipul-KIP itu. Seakan rival sejak pilgub 2008 dan 2013 itu satu-satunya ”final ideal”. Memang sempat ada imajinasi yang lebih sempit lagi: Gus Ipul aklamasi (calon tunggal, ”manunggal”) gubernur Jatim. Namun, wacana itu tak bertahan lama, kembali ke ”el clasico”.

Adu siasat di istana menjadi bumbu penguat imajinasi ”el clasico” itu. Terbuka Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, yang secara lisan mengusung Gus Ipul, meminta Presiden Jokowi tak mengizinkan KIP maju pilgub. Sementara itu, KIP heran dengan pernyataan Muhaimin, meminta berfokus mendukung kandidat yang diusungnya (jawapos.com, 11 Agustus 2017).

Penyempitan imajinasi politik juga terjadi level nasional. Ada anggapan bahwa Jokowi bisa jadi calon tunggal di pilpres (déjà vu zaman Pak Harto yang menjadi calon tunggal tujuh periode). Wacana calon tunggal itu seiring keinginan Jokowi untuk tetap menetapkan presidential threshold 20 persen. Padahal, pilpres bareng dengan pemilihan legislatif pada 17 April 2019.

Tapi, kalau tak terjadi, imajinasi politik pilpres kita tetap sempit. Karena yang muncul hanya ”el clasico” Jokowi versus Prabowo. Tokoh lain belum ”berani” muncul. Nasib Hary Tanoe jadi ”peringatan”.

Namun, belajar dari pilgub DKI, imajinasi politik ternyata bisa diperluas. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat menjulang tinggi karena ”popularitasnya”. Partai-partai yang kerap dicerca Ahok pun akhirnya ”menyerah” dan merapat karena yakin bahwa Ahok pasti terpilih. Ternyata, rakyat Jakarta berkehendak lain. Agus Yudhoyono memang kalah, tapi Anies Baswedan telak mengalahkan Ahok.

Imajinasi politik yang lapang terlihat di pilgub Jabar. Semula, Ridwan Kamil jadi fokus. Apalagi, wali kota Bandung itu cukup cerdik dalam membangun ketokohan lewat medsos. Tetapi, muncul pula figur lain. Misalnya Deddy Mizwar (wakil gubernur), Dedi Mulyadi (bupati Purwakarta), Netty Prasetiyani (istri Gubernur Ahmad Heryawan), dan Bima Arya Sugiarto (wali kota Bogor).

Jawa Tengah lebih semarak lagi. Terlebih, incumbent Ganjar Pranowo yang berslogan Ora Korupsi, Ora Ngapusi terserempet kasus korupsi e-KTP. Ada Sudirman Said, mantan menteri ESDM, juga Marwan Jafar, mantan menteri desa. Muncul pula Musthofa (bupati Kudus), Wardoyo Wijaya (bupati Sukoharjo), dan Junaedi (bupati Pemalang). Dari Gerindra, mencuat Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (keponakan Prabowo) dan Abdul Wahid (ketua DPD Jateng). Seru.

Jatim provinsi besar, perlu imajinasi politik yang besar pula untuk mendapat pemimpin politik yang terbaik. Mengacu pada Pileg 2014, pilihan politik warga Jatim cukup luas, tecermin dari perolehan kursi di DPRD Jatim. PKB 20 kursi, PDIP 19, Gerindra 13, Demokrat 13, Golkar 11, PAN 7, PKS 6, PPP 5, Nasdem 4, dan Hanura 2. Hanya PKB yang berhak mengajukan calon sendiri. Selebihnya harus berkoalisi untuk pilgub.

Karena itu, cukup mengherankan kalau yang muncul hanya Gus Ipul dan KIP, yang dinamikanya hanya berpusar di PKB (dan NU, basis utama pemilih PKB). Berlawanan dengan karakter blak-blakan Jatim, figur-figur lain masih malu-malu. Beraninya baru mengincar posisi cawagub meski pantas cagub. Bahkan, kadang di survei-survei dadakan nama mereka ”tidak muncul” atau muncul tapi di urutan bawah.

Para tokoh itu, misalnya, Tri Rismaharini (wali kota Surabaya), Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi), Suyoto (bupati Bojonegoro), Hasan Aminuddin (anggota DPR Nasdem/mantan bupati Probolinggo), juga Masfuk (mantan bupati Lamongan, ketua DPW PAN Jatim). Padahal, nama mereka cukup moncer sebagai kepala daerah yang berprestasi.

Apakah mereka grogi dengan gencarnya kemungkinan ”el clasico”? Padahal, dalam dunia politik yang seterbuka di Jatim, kalkulasi politik bisa disanggah kenyataan. Telah banyak contoh bagaimana bupati yang diperkirakan tak menang karena beda basis golongan dengan masyarakat ternyata bisa menang. Rakyat sering berbeda dengan elite partai. Kalau diperhatikan, wacana polemik pilgub Jatim ini juga didominasi segelintir pembesar partai di Jakarta. Wacana pilgub menjadi sangat elitis.

Diperlukan keberanian untuk memperluas imajinasi politik dengan memunculkan sebanyak-banyaknya tokoh yang mumpuni. Masih ada kesempatan hingga pendaftaran pada 8–10 Januari 2018. Calon independen juga masih punya waktu. Siapa tahu lebih sukses daripada Eggy Sudjana-Muhammad Sihat di pilgub 2013.

Provinsi butuh imajinasi politik yang luas karena besar dan kaya. Contoh angka tahun lalu, bagi hasil cukai tembakau Rp 1,43 triliun. Pajak kendaraan bermotor menghasilkan Rp 9 triliun (pendapatan itu lancar mengalir karena banyak inovasi samsat). Belum lagi hasil dari migas, industri, wisata, ternak, buah, beras, dan lainnya. Jatim nyaris punya segalanya. Diperlukan tangan yang tepat mengelolanya agar berbuah kesejahteraan pasca disapih Pakde Karwo. (www.jpip.or.id)

Survei Bisa Kibarkan, Juga Kuburkan

Kadang kita kaget. Tokoh yang kita anggap terkenal dan berkinerja baik, eh jeblok dalam survei. Dan, tokoh yang sebelumnya ’’tidak terdengar” malah menduduki posisi lumayan dalam survei yang sama. Penyebabnya, bisa saja kita salah persepsi tentang popularitas, karena kurang gaul. Tetapi, bisa juga itu terjadi karena surveinya memang tak bertujuan ’’menjajaki kebenaran”. Tetapi, sedang ’’mengabarkan” sekaligus ’’menguburkan” seseorang tokoh.

Survei memang sudah lama dirasani jadi salah satu trik berpolitik. Bisa terjadi pula menjelang pilkada serentak 2018 ini. Siasat itu bisa ditemukan di level pilgub, pilbup, maupun pilwali. Gejalanya, biasanya ada nama lembaga survei yang mendadak muncul atau sebelumnya ’’tak terdengar”. Tujuan rilis survei tak lebih untuk menggiring persepsi. Soal margin of error (tingkat kesalahannya)-nya kelewat tinggi, itu tak jadi soal. Seakan tujuan menghalalkan survei.

Satu survei bisa banyak tujuan sekaligus. Kalau pemesannya belum terkenal, tujuannya adalah ’’kabarkan” agar si tokoh mulai dikenal publik. Bisa saja dia ditempatkan di atas atau sedikit di bawah tokoh yang benar-benar terkenal. Maka, ini juga jadi upaya ’’kibarkan” tokoh pemesan survei yang punya ambisi politik itu.

Upaya ’’kibarkan” tersebut bisa diiringi berita-berita dan ’’kampanye” positif tentang sepak tendang si tokoh. Bila terlihat ada indikasi popularitas dan elektabilitasnya naik, bisa dibuat survei lanjutan yang misinya ’’kobarkan” nama si tokoh agar benar-benar punya kans besar terpilih.

Di sisi lain, selain mengabarkan, mengibarkan, mengobarkan si pemesan, survei bisa dipergunakan untuk tujuan sebaliknya untuk lawan-lawan politik. Tokoh yang telanjur terkenal dan punya kemungkinan terpilih besar bisa saja lewat survei ’’dikaburkan”. Misalnya diberi skor tingkat popularitas dan elektabilitas dengan tren menurun. Bahkan, bila ada tokoh dengan level popularitas menengah yang potensial mengancam, bisa saja namanya dihilangkan dari hasil survei.

Apabila ada gelagat berhasil ’’kaburkan” ketokohan lawan politik, maka bisa ditempuh upaya berikutnya: ’’kuburkan”. Dibuat saja tren yang terus-menerus turun, sehingga seolah-olah sangat sulit terpilih. Untuk ini, terus digoreng isu-isu faktual maupun rumor. Agar benar-benar bisa menanamkan kesan di benak publik, bahwa si tokoh bukan pilihan yang layak.

Tentu saja tak semua lembaga survei bisa melayani pesanan survei-surveian ala ’’katering pemilu” seperti itu. Yang penting kita tetap cerdas dan bernalar dalam menikmati hajatan politik yang penuh bias seperti pemilu dan pilkada ini. (roy/www.jpip.or.id)